Sabtu, 04 September 2010

Bodhicitta (Pencerahan Pikiran) Part I


Bodhicitta (Pencerahan Pikiran)


Boddhicitta adalah metode yang tidak mungkin gagal untuk mencapai pencerahan sempurna. Ajaran ini memiliki dua aspek, relatif dan absolut. Bodhicitta relatif dilatih menggunakan proses mental umum dan relatif mudah untuk dikembangkan, Meskipun demikian, manfaat yang mengalir dari Boddhicitta sungguh tak terbatas, bagi pikiran Bodhicitta yang berharga telah terlahir dan tidak akan jatuh ke alam samsara yang lebih rendah. Akhirnya, semua kualitas dari jalan Mahayana, yang seluas samudra, telah disaring dan diambil esnsinya dalam Bodhicitta, Pencerahan Pikiran.
Kita harus mempersiapkan diri untuk melatih ini, dengan mengikuti ajaran – ajaran dalam Sadhana (buku penuntun ibadah) Avalokitesvara, ‘Berlindunglah pada Triratna dan bermeditasi pada Bodhicitta. Renungkan semua kebajikan dari tubuh, ucapan, dan pikiran anda untuk semua makhluk, yang jumlahnya sangat besar seluas langit.’
Telah dikatakan dalam ajaran bahwa, ‘Karena jumlah makhluk tidak terhitung, maka manfaat dari mendoakan mereka adalah tak terhingga.’ Bayangkan, berap abanyak makhluk di luar sana! Apabila kita mengharapkan agar mereka semua dapat mencapai tingkat pencerahan dari Kebuddhaan, maka dikatakan manfaat dari aspirasi yang demikian besar adalah sebanyak jumlah makhluk hidup. Oleh sebab itu sebaiknya tidak membatasi Boddhicitta kita dalam jumlah tertentu. Dimana terdapat ruang, maka di sana ada makhluk, dan mereka hidup dalam penderitaan. Mengapa membuat perbedaan di antara mereka, atau menyambut sebagian sebagai teman dekat, dan memperlakukan yang lain sebagai musuh yang jahat?
Sepanjang arus kehidupan, dari masa tanpa awal hingga saat ini, kita semua telah mengembara di samsara, mengumpilkan kejahatan. Ketika meninggal, ke mana lagi kita akan pergi selain ke alam kehidupan yang lebih rendah? Jika ada keinginan dan pemikiran yang timbul dalam diri kita, dimana kita harus membawa semua makhluk menuju tingkat pencerahan dan Kebuddhaan, maka kita telah mengembangkan apa yang dikenal sebagai Bodhicitta dalam niat. Kemudian kita sebaiknya berdoa kepada sang Guru dan para Buddha sebagai praktik Bodhicitta mulia dapat mengakar dalam hati. Kita sebaiknya melafalkan Doa tujuh cabang dari Doa Perbuatan Sempurna, dan dengan duduk tegak lurus, menghitung napas sebanyak dua puluh satu kali, tanpa melupakan satupun, menjadi kacau, dan tanpa terganggu. Apabila kita mampu menghitungnapas dengan konsentrasi sebanyak satu putaran mala (tasbih), maka pikiran menyimpang akan berkurang dan latihan Bodhicitta relatif mudah. Ini dapat menjadi sebuah sarana yang layak untuk meditasi.


Bodhicitta Absolut

Pandanglah segala fenomena sebagai mimpi.

Jika memiliki musuh, kita cenderung memikirkan mereka sebagai musuh permanen. Kita memiliki perasaan bahwa mereka di masa lalu telah menjadi musuh dari nenek moyang kita, bertentangan dengan kita sekarang dan membenci anak – anak kita di masa yang akan datang. Inilah yang kita pikirkan, tetapi kenyataannya sangat berbeda. Kenyataannya kita tidak tahu dimana dan sebagai apa keberadaan kita dikehidupan sebelumnya, sehingga tidak dapat dipastikan bahwa orang – orang agresif yang sekrang kita lawan bukanlah orang tua kita dikehidupan yang lampau! Ketika kita meninggal, kita tidak akan mengetahui dimana akan dilahirkan, oleh karena itu kita tidak mengetahui apakah misih – musuh kita sekarang ini tidak akan menjadi ayah ibu kita. Pada masa sekarang, kita mungkin percaya dan menyayangi orang tua kita, namun siapa yang dapat mengatakan bahwa pada saat mereka tiada, tida akan dilahirkan kembali menjadi musuh kita? Kita tidak akan dapat mengetahui masa lalu dan masa yang akan datang dari kehidupan ini, oleh karena itu kita tidak mengetahui dengan pasti apakah musuh – musuh kita akan terus melakukan permusuhan, atau apakah teman – teman kita ini akan terus menjadi teman. Hal ini menunjukkan bahwa kita tidak pernah mendapatkan jawaban dari pertanyaan tersebut.
Apabila kita merenungkan hal ini, maka kita mempunyai gambaran situasi dimana semua orang sedang menjalankan roda kehidupan yang rumit. Pada satu sisi, mereka adalah sahabat yang saling percaya, merasa dekat, dan saling melakukan kebakan. Namun apabila sesuatu terjadi, mereka berubah menjadi musuh, ada kemungkinan bisa saling melukai atau saling membunuh. Hal seperti ini sering terjadi, dan perubahan ini dapat terjadi beberapa kali dalam satu masa kehidupan – ini menunjjukkan bahwa segala jenis keadaan atau situasi tidak kekal.
Tubuh manusia sangat berharga, sebuah sarana tertinggi untuk mencapai pencerahan. Meskipun demikian tubuh ini adalah fenomena yang bersifat sementara. Tidak ada yang mengetahui kapan, atau bagaimana ajal menjemput. Seperti gelembung – gelembung yang terbentuk di permukaan air, seketika menghilang, hal itu tidak menetap. Itu sama seperti yang kita temukan dalam tubuh manusia yang berharga. Kita dapat saja menghabiskan waktu did unia dengan tidak menjalankan Ajaran, namun siapa yang mengetahui kapan kehidupan ini akan dengan mudahnya berakhir? Bila sekalisaja tubuh berharga ini telah tiada, arus kesadaran pikiran kita taetap meneruskan keberadaannya, dan akan dilahirkan kembali, bisa saja menjadi hewan, atau dalam salah satu alam neraka atau alam dewa, yang kemudian menjadi sulit untuk mengembangkan praktik spiritual. Walaupun dalam kehidupan alam dewa, dimana semuanya sangat mudah dan nyaman, tetapi bukan merupakan tempat yang cocok untuk praktik spiritual, karena salah satu bentuk dari kehidupan para dewa adalah bersenang – senang dan bermalas – malasan sehingga terjadi kemunduran dalam praktik spiritualnya.
Pada saat ini, jagat raya – tanah, bebatuan, pegunungan, karang, dan tebing – tebing terlihat permanen dan stabil dalam persepsi indera, seperti sebuah rumah yang dibangun dari beton yang kuat, yang kita bayangkan akan bertahan selama beberapa generasi. Pada kenyatannya, tidak ada satupun yang kekal; itu hanyalah sebuah impian.
Pada masa lalu, ketika sang Buddha masih hidup di kelilingi sejumlah besar Arahat dan ajaran mulai berkemban, sebuah gedung hebat telah dibangun oleh para dermawan! Ini semua tidak kekal; sekarang tidak ada lagi yang tersisa kecuali tanah rata yang ksosng. Hal yang sama terjadi, pada Universitas Vikramashila dan Nalanda, ribuan pandita menghabiskan waktu mereka memberikan ajaran kepada perhimpunan Biksu (Biarawan). Semuanya tidak kekal! Sekarang, tidak ada satu pun Bhiksu atau kitab ajaran Buddha yang dapat ditemukan di sana.
Sebagai contoh lain, seblum kedatangan komunis Cina, berapa banyak vihara berada di Tibet? Berapa banyak kuil dan Vihara yang pernah ada di sana, seperti di Lhasa, di Samye dan Trandruk? Berapa banyak objek berherga representasi dari Tubuh, Ucapan, dan Pikiran sang Buddha ada di sana? Sekarang, tidak ada satu rupang pun tersisa. Yang tersisa di Samye hanyalah suatu bentruk sebesar tenda, tidak lebih besar dari sebuah stupa (Candi). Semuanya telah dijarah, dihancurkan, atau dirusak, dan semua karya agung dimusnahkan. Hal – hal seperti ini telah terjadi dan menunjukkan ketidakkekalan.
Bayangkan para Lama yang datang dan tinggal di India, seperti Gyalwa Karmapa, Lama Kalu Rinpoche, dan Kyabje Dudjom Rinpoche; pikirkan semua ajaran yang mereka berikan dan bagaimana mereka memberi kontribusi untuk kelestarian ajaran Sang Buddha. Semuanya telah berlalu. Kita tidak dapat lagi melihat mereka dan semua itu hanya menjadi objek dari doa dan pengabdian. Semua terjadi karena ketidakkekalan. Semestinya kita memikirkan Ayah, Ibu, anak, teman – teman dan semuanya dengan cara yang sama… Ketika orang Tibet mengungsi ke India, sebagian besar berada dalam kondisi fisik yang lemah dan meninggal. Sepanjang pengetahuan saya, ada tiga atau empat kematian setiap hari. Itulah ketidakkekalan. Tdak ada satu pun yang tetap dan kekal.
Apabila kita memiliki sebuah pemahaman dari ketidakkekalan, maka kita akan mampu mempraktikkan ajaran – ajaran yang suci nanluhur. Jika kita terus berpikir semua itu abadi, maka kita kan terlihat seperti orang – orang kaya yang pada saat ajal menjelang masih membicarakan bisnis mereka! Orang – orang seperti itu, tidak pernah membicarakan tentang kehidupan selanjutnya, bukankah demikian? Hal ini menunjukkan bahwa pemahaman mengenai kematian tdak pernah menyentuh hati mereka. Ini adalah kesalahan dan delusi mereka.
Apakah delusi itu? Dan bagaimana mendefinisikannya? Hal ini seperti orang gila yang berlari di luar pada musim dingin dan melompat ke air untuk membersihkan dirinya, terlalu gila untuk menyadari bahwa tubuhnya sedang membeku. Kit aberpikir bahwa manusia seperti itu gila, dengan cara yang sama, ini seperti seorang Bodhisatva yang berpikiran bersih dan tidak dapat diperdaya melihat kita, maka kita akan terlihat sama gilanya seperti orang itu! Semestinya kita dapat sedikit yakin bahwa kita telah tersesat dan cobalah untuk keluar dari pikiran kita, dengan pemahaman bahwa sekalipun semua kejadian yang hadir dihadapan kita tampak seperti apa adanya, tetapi semua ini tidak memiliki realitas sekalipun dalam taraf yang paling rendah.
Apakah yang menciptakan ilusi ini? Jawabannya adalah pikiran, dan hal ini terjadi pada saat semua yang bersifat ilusi dan tidak ada dianggap sebagai kenyataan. Meskipun demikian, kita hendaknya memahami dengan jelas bahwa delusi seperti itu sebenarnya cukup berbeda dari pikiran itu sendiri, hal ini adalah sifat Alami Buddha atau Sugatagarbha.
Bagaimana dengan pikiran, pencipta dari ilusi ini? Bisakah kita katakan bahwa pikiran itu sendiri dapat dikatakan ada? Untuk lebih mengerti hal ini kita harus melakukan,
Amatilah hakikat yang tak terlahirkan.
Pada saat kemarahan timbul dari sesuatu yang kita sebut sebagai pikiran, kita tidak menyadari bahaya yang mengancam. Wajah kita disiram kemarahan, mengangkat senjata bahkan dapat membunuh banyak orang. Sementara kemarahan hanya sebuah ilusi; dan bukan sebentuk kekuatan hebat yang merasuk ke dalam diri. Hanya menghasilkan satu keadaan yang mengirim kita ke neraka (Berbagai tindakan negatif yang berasal dari kemarahan yang timbul dari pikiran dapat membuat seseorang mendapatkan penderitaan, bahkan penderitaan yang luar biasa), dan sekali lagi hal ini tidak lebih dari sebiah pemikiran, pemikiran yang tidak memiliki substansi. Itu hanyalah pikiran, dan sekali lagi…
Ambil contoh lain, tentang seorang kaya raya. Dia kaya, bahagia, dan sangat puas dengan dirinya sendiri, berpiki, ‘Saya kaya.’ Tetapi apabila semua miliknya disita oleh petugas atau yang berwajib, kebahagiaannya akan menguap dan dia jatuh dalam kesengsaraan dan depresi. Sesungguhnya kegembiraan itu adalah pikiran, kesedihan juga pikiran. Dan pikiran itu sendiri adalah pemikiran.
Apa yang seharusnya kita lkatakan tentang apa yang disebut pemikiran? Pada saat ini, ketika saya berbicara Dharma, marilah kit renungkan pengalaman mental, atau pemikiran, yang anda miliki saat ini dengan mendengarkan secara seksama. Apakah pikiran ini mempunyai bentuk dan warna? Apakah bisa ditemukan di atas atau bawah dari bagian tubuh kita, atau pada mata dan telinga? Apa yang kita sebut dengan pikiran sesungguhnya bukan yang ada di sana. Jika memang itu adalah sesuatu, maka seharusnya seesuatu itu mempunyai karakteristik, seperti warna. Mungkin bisa putih, kuning, atau lainnya. Atau mungkin berbentuk seperti sebuah pilar atau pot. Seharusnya dia besar atau kecil, tua atau muda, dan seterusnya. Anda bisa menemukan apakah pikiran itu ada atau tidak, dengan hanya melihat ke dalam batin dan merenungkannya dengan seksama. Anda akan melihat pikiran itu tidak ad apermulaan, atau akhir, berdiam ,atau ada dimanapun; tidak memiliki warna atau bentuk dan tidak ditemukan di dalam atau di luar tubuh. Pada saat anda menyadari bahwa pikiran tidak menjadi benda apa pun, anda semestinya tetap berada dalam keadaan itu tanpa mencoba untuk memberikan nama atau mendefinisikannya.
Ketika anda telah benar – benar memperoleh realisasi dari kesunyataan ini, anda akan seperti Yang Mulia Milarepa atau Padmasambhav, yang tidak dapat dipengaruhi oleh panasnya musim panas atau dinginnya musim dingin, dan tidak bisa terbakar oleh apia tau tenggelam dalam air. Dalam kesunyataan tidak terdapat rasa sakit maupun penderitaan. Di sisi lain, yang belum kita mengerti dari sifat kesunyataan pikiran sehingga pada saat kita digigit oleh serangga kecil, kita berpikir, ‘Aduh! Saya diigit. Sakitnya!’; atau pada saat seseorang mengatakan sesuatu yang tidak menyenangkan, kita menjadi marah. Itu pertanda kita belum merealisasikan sifat alami dari kesunyataan pikiran.
Semuanya sama, walaupun kita mendapat keyakinan bahwa tubuh dan pikiran bersifat kosong, ketika keyakinan yang sangat mendalam ini muncul di dalam batin kita, inilah yang biasanya dikenal sebagai penawar, ini dikatakan tiada lain bahwa:
Penawar akan melenyapkan dengan sendirinya.
Orang – orang yang mengerti ajaran Buddha melakukannya dengan alasan karena takut dengan apa yang terjadi setelah kematian. Mereka memutuskan mencari perlindungan, memohon nasihat kepada Lama untuk mendaptkan petunjuk dan memusatkan pikiran dengan tekun dalam praktik spiritual: seratus ribu sembah sujud, seratus ribu persembahan mandala, melafalan Mantra perlindungan dan lain – lainnya. Ini adalah pemikiran yang positif, tetapii karena pemikiran tidak memiliki sifat yang kukuh, maka tidak bertahan lama. Pada saat sang guru tidak ada dan tidak ada yang menunjukkan apa yang harus dna tidak boleh dilakukan, maka sebagian besar praktisi menjadi seperti yang dikatakan dalam pepatah: para yogi tua akan menjadi kaya; para guru tua kan menikah. Ini menunjukkan bahwa pemikiran itu tidak kekal, oleh karena itu hendaknya kita merenungkan dalam pikiran kita bahwa semua pemikiran atau penawar – bahkan pemikiran dari kesunyataan – ia sendiri bersifat kosong tanpa memiliki substansi.
Sifat alami dari dari sang jalan bersemayam dalam alaya.
Namun bagamana caranya berdiam dalam kesunyataan, yaitu bebas dari semua kegiatan mental? Mari kita mulai dengan mengatakan bahwa keadaan pikiran dari pemikiran tentang ‘Aku’ didukung oleh tubuh dengan kelima indranya dan delapan kesadaran. Hal ini adalah ketentuan teknisa dan snagat tidak mudah untuk dimengerti. Sebagai contoh, ketika mata mengkap sebuah objek, terjadi penglihatan yang disebabkan oleh kesadaran yan baik dari mata.Jika bentuk tersebut adalah sesuatu yang menyenangkan, maka kita kan berpikira, ‘Inibagus, saya menyukainya.’ Jika kita melihat sesuatu yang menakutkan, hantu sebagai contohnya, atau seseorang dengan senjata api siap menembak, maka kita akan berpikir kita akan dibunuhdan beraksi dengan rasa takut.Kenyataannya adalah, kejadan yang terjadi ‘di luar sana’ sesungguhnya dirasakan ‘di sini,’ ‘di dalam;’ hal itu diciptakan oleh pikiran – pikiran kita.
Sebagaimana sekarang pikiran – pikiran kita disituasikan, dapat dikatakan bahwa semua ini berhubungan dengan tubuh kita dan oleh sebab itu kita berterima kasih atas kombinasi ini sehingga kita mempunyai kemampuan utuk berbicara. Sebuah tenda, yang sisinya ditarik oleh tali – tali, dan dengan sebuah tiang di tengah, menjadi sebuah tempat yang bsa kita tinggali. Dengan cara yang sama, tubuh, ucapan, dan pikiran kit ahanya sementara saja bersama – sama. Pada saat kita meninggal, dan pikiran kita masuk ke alam bardo, maka tubuh akan ditinggalkan dan seluruh ucapan lenyap. Terlebih lagi, pikiran kita, tidak akan ditemani oleh kekayaan yang telah dikumpulkan sepanjang hidup kita, tidak juga oleh Ayah atau Ibu, tidka juga oleh ralasi atau sahabat. Kita akan sendiri, diselimuti oleh sesuatu yang baik maupun jahat yang telah kit alakukan, dan kita dapat lepas dari bayangan kita sendiri.
Tubuh yang ditinggalkan pada saat kematian dinamakan jenzah. Apakah itu tubuh dari orang tua kita ataupun peninggalan keramat dari guru kita, hanya sekedar jenazah. Meskipun jenazah mempunyai mata, tetapi tidak dapat melihat; tidak dapat mendengar dengan telinganya atau berbicara dengan mulutnya. Kita dapat memperlakukan mereka di atas singgasana; atau dapat juga memperlakukannya dengan kasar, membakarnya dalam api atau melemparnya ke dalam air. Semua itu sama untuk jenazah. Mereka tidak mempunyai pikiran dan seperti bebatuan, tidak bahagia maupun sedih.
Ketika pikiran positif, tubuh dan ucapan, yang menjadi pelayan pikiran, tentunya menjadi positif juga. Bagaimana cara membuat pikiran menjadi positif? Pada saat ini kita melekat pada gagasan, bahwa pikiran kita adalah entitas yang nyata. Ketika seseorang membantu kita, kita berpikir, ‘orang itu telah baik sekali kepada saya. Saya harus bebrbuat baik kembali kepada dia dan membuat dia sebagai teman seumur hidup dan pada kehidupan yang akan datang.’ Hal ini hanya menunjukkan bahwa kita tidak mengenal sifat kesunyataan dari pikiran. Untuk musuh – musuh kita, kita berpikir bagaimana cara untuk melukai, membunuh atau setidaknya merampas semua harta bendanya. Kiat berpikir seperti tu karena menganggap bahwa kemarahan kita adalah realitas yang benar dan permanen – sementara kenyataannya tida demikian. Oleh karena itu kita hendaknya berdiam dalam sifat kesunyataan dari pikiran melampaui semua elaborasi mental, dalam keadaan yang bebas dari keterikatan, sebuah kejernihan yang melampaui semua konsep.
Untuk membawa penjelasan Bodhicitta absolut menjadi sebuah kesimpulan, dalam naskah dikatakan:
Setelah meditasi, pandanglah fenomena sebagai ilusi.
Dikatakan bahwa ketika seseorang bangkit darimeditasi, semua fenomena, seseorang atau orang lain, jagat raya dan penghuninya, akan terlihat seperti sebuah sifat ilusi. Inilah yang seharusnya dimengerti dengan cermat.
Ketika para Bodhisatva agung datang ke dunia ini untuk memberikan kebaikan – kebaikan bagi semua makhluk dengan cara membimbing mereka ke jalan menuju pembebasan agung, ini semua dilakukan bukan melalui kekuatan dari karma atu emosi negatif merreka. Seperti cerita dari kehidupan Sang buddha,ketika masih menjadi seorang Bodhisatva, Sang Buddha telah dilahirkan diantara burung – burung, rusa dan sebagainya, untuk mengajar dan menempatkan para makhluk pada jalan kebajikan. Beliau juga pernah terlahir sebagai raja agung yang memerintah dengan kemurahan hati, dan kemudian dalam pencarian Ddharma, untuk mendengar beberapa baruis ajaran, beliau rela membakar dirinya, atau melompat ke dalam api atau air, dan tidak memperdulikan kehidupannya. Karena beliau telah merealisasikan kesunyataan, beliau tidak pernah lagi mengalami penderitaan apa pun. Hal tersebut tidak akan berlaku bagi kita, selama kita masih berpegangan pada pemahaman bahwa semuanya kekal dan permanen. Ini adalah sesuatu yang harus kita tanamkan pada pikiran kita dalam menjalani kehidupan sehari – hari.

Sumber: Buku berjudul "Pencerahan" yang merupakan terjemahan dari sebuah buku Bahasa Inggris berjudul "Enlightened Courage"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Segala Pahala Kebajikan dari pembabaran Dharma di blog ini, seluruhnya dipersembahkan kepada Mula Guru Dharmaraja Lian Sheng, semoga Dharmaraja Lian Sheng selamanya menetap di dunia, dan memutar Roda Dharma dalam bentuk kendaraan besar dan kecil untuk berbagai tingkat kemampuan dalam motivasi semua makhluk yang ada saat ini. Semoga saya dapat segera mencapai Pencerahan Sempurna demi semua makhluk. Semoga semua makhluk yang hidup di Samsara dapat berjodoh dengan Buddha Dharma, mempraktekkan Dharma, setelah memperoleh pengetahuan, dapat mengalahkan musuh - musuh yang berbahaya, dari ketiga racun, dan dapat mencapai Pencerahan

Om Mani Padme Hum

Secara khusus saya mengucapkan terima kasih kepada Saudara Sedharama, Lian Hua Shi An yang telah menerjemahkan sangat banyak Materi Dharma dari Bahasa Mandarin ke Bahasa Indonesia, yang mana hasil terjemahannya sangat banyak yang saya post di blog ini

Manjusri Mantra

Music


Music