Dalam Taisho Tripitaka terdapat 3 terjemahan sutra ini, yakni:
Fo Shuo Da Fang Deng Xiu Duo Luo Wang Jing
Penterjemah dari bahasa Sansekerta ke bahasa Mandarin: YA. Bodhiruci
Fo Shuo Zhuan You Jing
Penterjemah dari bahasa Sansekerta ke bahasa Mandarin YA. Fotuoshanduo
Fo Shuo Da Cheng Liu Zhuan Zhu You Jing
Penterjemah dari bahasa Sansekerta ke bahasa Mandarin: YA. Yijing
Diterjemahkan dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia oleh Ivan Taniputera
Hormat pada semua Buddha dan Bodhisattva
Demikianlah Yang Telah Kudengar. Suatu ketika, yang Terberkahi (Sang Buddha) sedang berada di Hutan Bambu yang disebut Kalantakanivasa, Rajagriha. Beliau disertai oleh sekumpulan besar bhiksu berjumlah dua ratus
Kemudian, Bimbisara, Raja
Yang Terberkahi menjawa pada Bimbisara, Raja
Ia menjawab, “Tidak, Yang Terberkahi.”
Yang Terberkahi bertanya [pada Raja Bimbisara], “Bagaimanakah pendapat anda, wahai raja, apakah pria tersebut dikatakan bijaksana, apabila ia tergila-gila pada wanita yang muncul dalam mimpinya tersebut?”
Raja Bimbisara menjawab, “Tidak, Yang Terberkahi. Mengapa demikian? Karena wanita muda dalam mimpi itu tidak benar-benar ada. Mustahil untuk sungguh-sungguh berjumpa dengannya. Bagaimana mungkin perjalanan bersama wanita itu dianggap sebagai sesuatu yang nyata? Hanya rasa patah hati dan putus asa-lah yang akan dialami pria tersebut.”
Buddha, Yang Tererkahi berkata, “ Meskipun demikian, O, raja, seorang bodoh, yang tidak memiliki wawasan kebijaksanaan dan cenderung pada segala sesuatu yang bersifat keduniawian; apabila melihat sesuatu yang elok dipandang, menjadi melekat dan terikat padanya. Timbul rasa senang terhadap hal itu, yang kemudiaan diikuti oleh bangkitnya hawa nafsu keinginan tersebut dan dengan disertai oleh kebencian dan kebodohan, ia melakukan berbagai tindakan; baik melalui tubuh fisik, ucapan, maupun pikirannya. Setelah selesai dilakukan, tindakan itu [kemudian] dikatakan “lenyap.” Tetapi, kita tidak dapat mengatakan bahwa tindakan itu “lenyap” menuju kea rah timur, selatan, barat, utara, atas, bawah, ataupun ke penjuru-penjuru di antara [keenam] arah mata angin tersebut.
Tetapi, beberapa waktu kemudian, saat kematian tiba, dan ketika kesadaran yang terakhir lenyap karena matangnya karma seseorang. [Kilasan] bayangan [segenap] tindakan [yang pernah dilakukannya]itu muncul [kembali] dalam benaknya, bagaikan [kenangan] akan para wanita muda dalam mimpi pria [yang telah disebutkan di atas].
Maka, wahai raja, kesadaran terakhir lenyap, dan kesadaran pertama yang berkaitan dengan tumimbal lahir terlahir di antara para dewa, manusia, asura, makhluk penghuni neraka, di dalam rahim hewan buas, atau di antara kaum preta. Segera setelah kesadaran pertama lenyap, wahai raja, serangkaian pikiran baru yang merupakan bagian kesadaran pertama itu timbul, di mana buah karma perbuatan-perbuatan terdahulunya akan dialami orang itu. Oleh karenanya, wahai raja, tidak ada yang berlalu dari ala mini menuju ke [alam] lainnya, melainkan kematian (cyutti) dan kelahiran kembali-lah (upapatti) yang terjadi.
Wahai Raja, lenyapnya kesadaran terakhir itulah yang dikenal dengan istilah “kematian” [dan selanjutnya] munculnya kesadaran pertama itulah yang dikenal sebagai “kelahiran kembali”. Kesadaran terakhir , O, Raja, jika lenyap, tidak pergi ke manapun jua. Kesadarn pertama, jika timbul, tidak dating dari manapun jua. Mengapa demikian? Karena keduanya bukanlah sesuatu yang nyata. Karena itu, O, Raja, kesadaran terakhir sendiri adalah sunya (kosong), kematian sendiri adalah sunya (kosong), kesadaran pertama sendiri adalah sunya (kosong), kelahiran kemali sendiri adalah juga sunya (kosong). Sementara itu, matangnya buah karma seseorang yang [sesungguhnya telah] mengambil peranan. Segera setelah lenyapnya kesadaran pertama yang dihuungkan dengan kelahiran kembali, O, Raja, bangkitlah suatu rangkaian pemikiran baru yang tak terputus, dimana matangnya buah karma masa lampaunya mulai dirasakan [dalam wujud berbagai peristiwa yang dialami orang itu]. Demikianlah yang telah disabdakan oleh Yang Terberkahi. Inilah yang diajarkan oleh Buddha, Sang Pemimpin Dunia.
Semua ini hanyalah sekedar nama atau istilah (sanjanamatra) belaka. Kendati demikian, tiada seorangpun yang dapat mengungkapkan atau mengkomunikasikan sesuatu tanpa kata-kata.
Nama apapunyang dipergunakan untuk menyebut segala sesuatu, [sesungguhnya] tidaklah mencerminkan kesejatian benda atau hal tersebut (bukanlah benda atau hal itu sendiri), inilah yang dikenal seagai kedemikianan (dharmata) segala sesuatu (dharma).
Catatan: Istilah “meja,” tidaklah mencerminkan meja itu sendiri. Ia adalah semata-mata sebuah nama. Orang Inggris menyebutnya sebagai table dan orang Jerman dengan Tisch.
Dengan demikian, hakekat sejati suatu nama atau istilah (namata) adalah kosong atau (naman). Suatu nama [sebenarnya] tidaklah memiliki hakekat sejati. Segala sesuatu sesungguhnya tidak bernama, tetapi umat manusia menamai semuanya, demi memudahkan penyebutannya.
Catatan: “Meja” sesungguhnya adalah sekedar nama, yang berasal dari perjanjian atau consensus bersama (dalam wujud kosa kata suatu bahasa) untuk menyebutnya enda itu sebagai “meja.” Meskipun semua nama dan istilah itu tidak mencerminkan hakekat sejati suatu benda atau sifat, namun tetap sangat diperlukan dalam kehidupan sehari-hari sebagai alat mengkomunikasikan sesuatu.
Inilah yang dikatakan oleh seorang dengan pandangan benar, bahwa: “indra penglihatan yang melekat pada segenap wujud lahiriah (rupa) berada dalam cakupan Kebenaran Relatif (samvrtisatya), dimana [tingkatan kebenaran semacam] ini dianut oleh orang yang masih berpandangan salah.
Sang Buddha mengajarkan bahwa persepsi (darsana) timul dengan dukungan rangkaian sebab dan akibat; orang bijaksana menyeutnya sebagai upacarabhumi Kebenaran Terunggul.
Mata tidak melekat pada [aneka] wujud lahiriah (rupa) dan pikiran tidak melekat pada beraneka macam fenomena. Inilah Kebenaran Terunggul yang tidak dipahami oleh umat awam.
Demikianlah yang disabdakan oleh Yang Terberkahi. Bimbisara – Raja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar